Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rencana Tiruan

Proses membuat rencana sebetulnya telah tersosialisasikan cukup lama: sejak masa kanak-kanak, yakni tatkala menyusun cita-cita. Belajar dari pengalaman anak-anak tersebut, dapat dilihat bahwa apa yang disebut sebagai cita-cita, belum tentu merupakan pilihan yang bulat, mengapa demikian?

Harus diakui bahwa anak-anak sebenarnya tidak banyak memahami apa yang diinginkan. Apa yang disebut sebagai keinginan oleh anak-anak tidak lebih dari "apa yang pernah didengar, atau apa yang pernah dilihat". Jika anak menginginkan menjadi dokter kalau sudah besar, maka keinginan tersebut tidak lepas dari pengaruh lingkungan, pendapat orang tua, atau di sekitarnya memang ada dokter yang ingin ditirunya. Jika ada polisi disekitarnya, atau anak pernah melihat polisi yang kelihatan gagah dan berwibawa, maka dengan sendirinya anak-anak akan menunjuk polisi sebagai masa depannya.

Pada anak-anak, cita-cita dan idola tidak begitu jauh. Kadang yang dimunculkan sebagai cita-cita tidak lain dari idola - sesuatu yang dipandang menyenangkan, baik dan membawa manfaat. Jika idola yang menjadi tujuan, maka hal tersebut tidak lain dari sebuah imitasi, tiruan. Meniru memang merupakan naluri makhluk hidup.

Apakah meniru merupakan perbuatan yang buruk. Tentu saja tidak. Mengapa kita mengatakan tidak?

Pertama, bagaimana pun kita tidak bisa melepaskan diri dari masa lalu. Tidak ada dalam sejarah seorang anak kecil - balita - yang bisa memahami kenyataan dunia bila tidak dibantu oleh orang terdahulu. Setiap anak kecil dibimbing oleh yang terdahulu, baik orang tua atau lingkungannya. Perhatikan bagaimana anak-anak meniru apa yang dikatakan atau apa yang dilakukan oleh orang tuanya, kakaknya atau saudara-saudaranya yang lain. Kesemuanya itu merupakan sebuah proses belajar.

Kedua, proses meniru pada dasarnya merupakan proses dialog, berinteraksi atau tukar pengetahuan (pengalaman). Pemahaman awal tentang sesuatu hal atau pengetahuan tertentu akan diperoleh justru ketika seseorang sedang meniru. Kesulitan muncul ketika meniru, adalah proses pembelajaran yang baik. Terlebih bila dijumpai kegagalan - setiap kegagalan adalah guru yang baik, tentu saja bagi mereka yang mau belajar dari kegagalan. Dari sanalah akan diperoleh makna - sesuatu di balik kenyataan. Ketika seorang anak hendak menirukan apa yang dilakukan oleh orang lain dan tidak bisa, maka di situ pula akan muncul sebuah kesadaran mengenai keterbatasan atau ketidakmampuan.

Ketiga, proses meniru merupakan bagian dari gerak transfer pengetahuan. Ketika guru mengajarkan sesuatu pada murid di kelas, maka yang dilakukan tidak lain dari penggambaran mengenai apa yang sudah dilakukan dan yang sudah diketahui oleh orang-orang terdahulu. Para murid diajak untuk menyusuri jalan tersebut, dan dari sana diharapkan muncul dan berkembang, pengetahuan-pengetahuan baru. Maka jangan ragu untuk meniru. Meniru bukan perbuatan kriminal, sepanjang anda benar-benar hendak belajar.


Bagaimana dengan perbuatan menjiplak atau mencontek? Harus diakui bahwa meniru memiliki perbedaan dengan menjiplak, meskipun tingkat praktis terlihat sama dan sebangun. Perbedaan terletak pada motif. Meniru memiliki motif pembelajaran berdasarkan pada ketidaktahuan dan adanya keinginan untuk berkembang. Maksudnya, agar dari proses tersebut bisa diperoleh pengetahuan atas pemahaman baru. Sebaliknya, menjiplak merupakan perbuatan pencurian, yang tidak memiliki tendensi belajar. Seorang murid yang menjiplak hasil karya kawannya, tentu tidak dengan maksud belajar, tetapi untuk memperoleh nilai yang baik, tanpa harus belajar. Menjiplak adalah perbuatan jahat, kriminal dan amoral.

Dalam menjiplak terdapat tendensi :
  • anti belajar dan pembelajaran;
  • keengganan untuk bertanggungjawab;
  • potong kompas, atau tindakan pragmatis sekaligus culas.


Mengapa demikian? Sebab yang menjiplak akan memperoleh harga yang tinggi tanpa harus berusaha. Hal ini sendiri bisa terjadi karena proses menjiplak pada dasarnya merupakan proses tertutup, sembunyi-sembunyi, mencuri. Sedangkan meniru, adalah perbuatan terbuka, terang-terangan.

Lantas apakah masa depan harus ditentukan dengan meniru jalan orang lain? Kita hendak mengatakan bahwa meniru adalah salah satu langkah yang bisa diambil untuk memulai sebuah langkah panjang. Dalam proses tersebut, kita akan mengalami serangkaian kejadian-kejadian, yang mendorong pembelajaran, dan dari sana akan diperoleh kepahaman baru mengenai realitas yang dihadapi. Secara ideal orang yang meniru akan lebih terbelakang dari yang ditiru. Maka, meskipun meniru merupakan langkah yang tidak buruk, tetapi akan menempatkan kita pada posisi terbelakang. Bagi orang dewasa, yang bukan anak-anak, maka sudah bukan waktunya untuk meniru, seperti yang dilakukan anak-anak. Arah masa depan memang harus ditentukan sendiri.

Meski mungkin punya bentuk keinginan yang sama, namun kualitas dari keinginan bisa berbeda-beda. Misalnya si A ingin menjadi doketer, demikian pula si B. Yang membedakan, jika si A ingin menjadi dokter kaya raya dengan segala cara, meski merugikan pasien, maka si B bisa saja menjadi dokter yang penuh dedikasi, membantu yang lemah. Apa artinya, bahwa selain kebutuhan untuk menentukan nasib sendiri, kita juga perlu jelas arah dari nasib yang hendak dituju.

Kejelasan arah masa depan yang hendak dituju, adalah sama dengan memberikan kepastian pada diri anda, sehingga anda bisa memiliki rasa percaya diri, konfidensi, dan sadar sepenuhnya atas apa yang akan terjadi pada diri anda. Kelak anda tidak perlu menyesali atas apa yang anda pilih, setiap orang pasti dituntut konsekuen dengan apa yang sudah dipilihnya. Selain itu, rasa percaya diri amat dibutuhkan agar anda bisa menyalurkan energi secara maksimal, dan tidak berada dalam badai kecemasan. Rasa percaya diri sudah tentu bukan sejenis rasa sombong, melainkan suatu sikap mental yang tumbuh atas dasar keyakinan akan kemampuan yang ada dan didukung oleh sikap kesungguhan yang tidak ada bandingnya.